Menaker Ida Fauziah Sebut Upah Minimum Ketinggian, Staf Khusus Klarifikasi

20 November 2021, 06:59 WIB
Menaker Ida Fauziah. /Dok.Kemenaker RI/

KABAR TEGAL – Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziah menyebutkan upah minimum terlalu tinggi dan butuh perhitungan ulang. Pernyataan Ida mendapat banyak sorotan, ramai-ramai media membuka fakta.

Hal ini membuat Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Dita Indah Sari angkat bicara dan klarifikasi pernyataan Menaker Ida Fauziyah soal tingginya upah minimun di Indonesia.

Dita mengatakan bahwa pernyataan Menaker yang menyebutkan upah minimum terlalu tinggi menggunakan komparasi atau pembanding nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia.

"Ketika Ibu (Menaker) mengatakan bahwa upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap bahwa pekerja itu sah mendapatkan upah lebih rendah," kata Dita Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 19 November 2021.

Baca Juga: Kemenaker Pastikan Upah Minimum Pekerja Naik Sekitar 1,09% Tahun 2022 Mendatang

Sebelumnya dalam siaran persnya, Rabu, 17 November 2021 Menaker Ida Fauziah menyebut, indeks median upah yang ideal berada di kisaran 0,4 sampai 0,6 persen, sedangkan Indonesia sudah lebih dari 1 persen.  Sehingga perlu ada penyesuaian formula perhitungan upah minimum.

“Karena kondisi upah minimum yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan," ujar Menaker Ida.

Dirinya juga menyebutkan  alasan itu membuat kenaikan upah tidak didasari pada peningkatan kinerja para buruh. Selain itu, serikat buruh cenderung menuntut kenaikan upah daripada membicarakan upah berbasis kinerja.

"Hal ini juga yang kemudian membuat teman-teman serikat pekerja atau serikat buruh lebih cenderung menuntut kenaikan upah minimum dibandingkan membicarakan upah berbasis kinerja atau produktivitas," ujarnya.

Baca Juga: Menaker: Korban PHK akan Dapat Jaminan Kehilangan Kerja Berupa Uang Tunai dan Pelatihan

Menjelaskan pernyataan itu, Dita selak Staf Khusus Menaker mengamini bahwa nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih cenderung rendah jika dibandingkan dengan upahnya. Nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia itu masuk ke dalam urutan ke-13 di Asia. Durasi kerja di Indonesia juga lebih pendek dan banyak libur. Yakni  40 jam per minggu, berbeda dengan di Thailand yang mencapai 42-44 jam per minggu.

Berbeda dengan Thailand, dalam setahun hanya kurang lebih 15 hari libur, di Indonesia dalam setahun ada 20 hari libur. Belum ditambah beragam cuti, mulai dari cuti bersama, cuti tahunan, cuti melahirkan, cuti khitanan, cuti menikah, hingga cuti keluarga meninggal.

Dengan makin sedikitnya jam kerja, menurut Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Otomatis nilai produktivitas pun jadi rendah.

"Di situ pembandingnya karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit. Makanya, upah itu ketinggian, tidak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja," kata Dita.

Baca Juga: Cara Cek Subsidi Upah Rp1 Juta Dapat Kalian Coba Melalui kemnaker.go.id, Berikut Syarat dan Tahapannya

Dirinya menyebutkan bahwa data membuktikan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9 poin.

Bila bicara nominal, lanjut dia, upah minimum di Indonesia terlalu ketinggian. Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp4.104.475,00, upah minimum itu diberlakukan di Phuket. Sementaradi Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp4.453.724,00, padahal nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin.

Sebagai informasi upah minimum Jakarta yang dimaksud adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS upah minimum pada tahun 2022. Dalam simulasi itu upah minimum naik 1,09 persen secara nasional, Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi.

 

Editor: Lazarus Sandya Wella

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler