The Way is Education, Semangat Mengejar Pendidikan Tinggi untuk Masa Depan Indonesia yang Lebih Cerah

- 30 Mei 2022, 10:57 WIB
Harris Turino, Anggota DPR RI
Harris Turino, Anggota DPR RI /Kabar Tegal/Instagram @harristurino

KABAR TEGAL - Beberapa tahun yang lalu media ramai memberitakan bahwa ketika menjabat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump berwacana untuk memutuskan menghentikan pemberian visa kepada mahasiswa ex Tiongkok untuk menuntut ilmu di Amerika Serikat.

Kebijakan ini adalah respon dari ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan China yang menghangat akhir-akhir ini.

Diawali dengan perang dagang, pandemi corona, kisruh di Hong Kong sampai pada pengusiran kapal perang Amerika Serikat yang berhulu ledak nuklir di kawasan Laut China Selatan.

Menurut Harris Turino, Anggota DPR RI dari dapil IX, dilihat dari kaca mata Manajemen Stratejik (Magic) kebijakan ultra nasionalis Trump merupakan sebuah blunder politik yang menarik untuk dicermati, berikut alasannya. 

Pertama, jumlah mahasiswa Tiongkok di Amerika mencapai sekitar 370.000 orang atau 33.7% dari total mahasiswa asing yang studi di Amerika Serikat.

Dengan rerata biaya kuliah sebesar USD 42.000 per tahun, maka sekolah-sekolah di Amerika bakalan kehilangan pendapatan sebesar USD 15.40 milyar dollar.

Di tengah cekaknya arus kas pendapatan dari biaya kuliah, diprediksi bahwa sekolah-sekolah di Amerika akan kelabakan.

"Saya masih ingat ketika saya menghadiri wisuda S1 anak saya di University of San Francisco dan S2 di University of California at Irvine, banyak sekali mahasiswa dengan nama-nama tiga suku kata yang di wisuda, dan menariknya mahasiswa asal Tiongkok lah yang mendominasi wisudawan yang lulus dengan pujian (Summa cumlaude, Magna cumlaude maupun cumlaude)," kata Harris. 

"Hampir ndak ada “bule pribuminya” yang masuk papan atas," lanjutnya. 

Kedua, di samping biaya kuliah tentu ada lagi biaya hidup yang menjadi sumber devisa bagi Amerika Serikat.

Dengan asumsi pengeluaran setiap mahasiswa sebesar USD 3.500 per bulan, atau USD 42.000 per tahun, maka Amerika akan kehilangan devisa lagi sebesar USD 15.40 miliar per tahun.

Belum lagi bila dihitung dengan belanja properti oleh mahasiswa OKB (orang kaya baru) asal Tiongkok yang jumlahnya tidak sedikit, sejalan dengan kemajuan ekonomi Tiongkok dalam 10 - 20 tahun terakhir ini.

Ketiga dan ini yang lebih penting. Dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang mahasiswa Tiongkok yang belajar di Amerika Serikat akan menduduki posisi-posisi puncak di negaranya, baik di sektor pemerintah maupun swasta.

Demikian pula mahasiswa-mahasiswa “pribumi” Amerika.

Persahabatan dan jejaring di kampus yang sudah terbangun selama sama-sama masih “bukan siapa-siapa”, akan menjadi modal vital bagi kerja sama kedua negara di masa mendatang, baik pada sektor swasta maupun antar pemerintah.

Hubungan erat ini tidak mungkin bisa digantikan dengan “transaksi jangka pendek” oleh dua pihak yang sama sekali tidak punya “sejarah kebersamaan” sebelumnya.

Kompetisi (persaingan) semata, bukanlah pilihan yang terbaik dalam lingkungan yang oligopolis, di mana sudah bisa diramalkan bahwa China dan Amerikalah yang akan menjadi penguasa dunia di masa mendatang. Strategi koopetisi (kompetisi dan kooperasi) menjadi pilihan yang lebih masuk akal.

Das dan Teng (2011) mengatakan bahwa hubungan baik antar tokoh kunci akan menjadi modal dasar yang kuat dalam menjalin aliansi stratejik.

Sebagai seorang akademisi yang berpengaruh di bidang pendidikan, Harris Turino berhasil lulus doktoral di UI dengan predikat cumlaude dan meraih rekor MURI sebagai lulusan Doktor Manajemen Stratejik tercepat.

Ia menyampaikan strategi yang harus diambil Indonesia dalam kancah persaingan global.

"Mengutip wejangan bijak dari Prof. Dr. Djisman Simandjuntak, Indonesia hanya akan menjadi negara yang hebat apabila mampu tumbuh pesat terus-menerus dengan pertumbuhan yang bukan ditopang oleh faktor endowment (sumber daya alam), tetapi Man Made Resources, salah satunya adalah pemupukan modal intelektual," kata Harris lagi. 

"Sayangnya perubahan pemerintahan membuat tidak semuanya bisa kembali pulang untuk membangun Indonesia," ucap Harris. 

Menurutnya, investasi akademis ini memang mahal, tetapi jelas bukan pemborosan yang sia-sia.

Pada gilirannya, investasi ini akan memetik imbal hasil yang luar biasa bagi bumi pertiwi.

"The Way is Education. Mari kita songsong masa depan Republik yang lebih cerah." tutup Harris. ***

Editor: Lazarus Sandya Wella


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah