AP2I dan PT MNI Ajukan Judicial Review UU No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

12 September 2023, 22:19 WIB
AP2I dan PT Mirana Nusantata Indonesia mengajukan judicial review ke MK terkait UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. /Kabar Tegal/Dwi Prasetyo Asriyanto

KABAR TEGAL - Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Ketua Umum AP2I, Imam Syafi'i, menilai bahwa UU No 18 Tahun 2017 materi Pasal 4 ayat (1) huruf c merugikan kepentingan pelaut dan keagenan awak kapal (manning agency), dimana mengkategorikan pelaut sebagai pekerja migran.

Menurutnya, hal tersebut akan berdampak dikesampingkannya beberapa undang-undang sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang berarti hukum khusus menyampingkan hukum umum.

Baca Juga: KPU Kabupaten Tegal Gelar Sosialisasi Tahapan Pemilu 2024, Sasar Pedagang Pasar dan Pemilih Pemula

"Disini saya melihat ada kerugian dan ketidakpastian hukum terhadap pelaut, salah satunya adalah dengan beralihnya atau diklaimnya pelaut yang bekerja di luar negeri sebagai bagian pekerja migran, maka segala aturan dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaut mengikuti aturan dan ketentuan pekerja migran," kata Imam kepada Kabar Tegal di Vannamei Seafood Restourant, Kota Tegal, Selasa, 12 September 2023.

Karena pada dasarnya, kata dia, aturan dan ketentuan antar pelaut diatur secara khusus termasuk pada konvensi internasional terkait dengan kedudukan pelaut.

Dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017, tentu pengawasan dan penerbitan izin perekrutan dan penempatan pelaut menjadi kewenangan mutlak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Baca Juga: Rebo Wekasan: Arti, Tujuan, Keutamaan, Amalan dan Doa Tolak Bala

"Ini jelas tidak akan berjalan secara optimal dikarenakan pelaut berhubungan langsung dengan transportasi laut, dimana ini harusnya menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang memiliki tugas menyelenggarakan keselamatan dan keamanan angkutan perairan dan pelabuhan," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Imam Syafi'i, Fatkhur Siddiq, menambahkan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mempunyai dampak tumpang tindihnya regulasi, baik pada tingkatan undang-undang yaitu berbenturan dengan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sampai dengan tingkatan Peraturan pelaksanaannya yaitu PP No 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dengan PP No 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

"Dengan beralihnya kewenangan Kemenhub menjadi kewenangan Kemnaker dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), maka jaminan perlindungan serta hak-hak bagi pelaut yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan kepada pelaut," kata Fatkhur.

Baca Juga: Pesan Pak Bhabin untuk Anak-anak SDN Tegalsari V: Awas bahaya Kebakaran, Giat Belajar Gapai Cita-Cita

Sementara itu, kuasa hukum Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia Ahmad Daryoko, Ahmad Faisal, mengatakan kliennya merupakan direktur perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal (manning agency) dan mengklaim pihaknya telah memiliki dokumen Perizinan Berusaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).

Namun karena belum memiliki Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), pihaknya mengaku mengalami kerugian spesifik dan aktual. Ia juga menyebutkan bahwa kliennya merasa dikriminalisasi dengan ditetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Kita merasa sebagai korban atas dualisme aturan yang sedang berlaku. Padahal kita memiliki SIUPPAK tapi kita diharuskan untuk memiliki SIP2MI. Sebagai kuasa hukum, saya merasa klien saya dirugikan sebagai korban, karena kalau mengikuti UU No 18 Tahun 2017 maka sudah dirubah di UU Cipta Kerja," katanya.

Baca Juga: Mengganjal Soal Sertifikasi Halal Dalam UU Cipta Kerja, PBNU Siap Dukung Gugatan ke MK

Menurutnya, SIP2MI sudah tidak pidana lagi, namun administratif. Jika mengacu PP 22 Tahun 2022 itu pun sama. SIP2MI bagi manning agency juga administratif.

Ia berharap, supaya terjadi harmonisasi regulasi khusus pelaut sehingga tidak terjadi tumpang tindih perijinan antara Kemnaker, BP2MI dengan Kemenhub.

"Sebagai konsekuensi, pelaut menanggung beban tambahan kewajiban adiministrasi perizinan dan tentunya waktu biaya. Ini berpotensi adanya kemungkinan disisihkannya pelaut-pelaut Indonesia dalam posisi pekerjaan di kapal asing. Karena pemilik kapal akan merekrut pelaut dari negara lain," tegasnya.

Baca Juga: Cekcok, Pria Asal Bogor Tusuk Remaja di Pemalang Hingga Tewas

Maka dari itu, Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017 tersebut perlu dilakukan review (judicial review atau political review) dengan mengeluarkan pelaut dari kelompok pekerja migran dan ditegaskan dalam Pasal 5 UU PMI 2017, bersama sejumlah pekerja lainnya yang dieksklusi sebagai pekerja migran.

"Ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi legislasi antara UU PMI 2017 dengan tiga konvensi ILO sebagai induk legislasi dan tata kelola migrasi ketenagakerjaan internasional," pungkasnya.***

Editor: Dwi Prasetyo Asriyanto

Tags

Terkini

Terpopuler