In Memorable Siu Ban Ci Muslimah Tionghoa Ibunda Raden Fatah

10 Januari 2022, 16:42 WIB
Foto ilustrasi Cover buku Sabda Palon 4, Pudarnya Surya Majapahit /Kabar Tegal / Anis Yahya/

KABAR TEGAL - Siapa sebenarnya sosok wanita Muslimah Siu Ban Ci itu?. Seberapa besar pengaruhnya terhadap kerajaan Majapahit hingga banyak literasi menyebut-nyebut namanya begitu santer.

Dalam beberapa sumber menguraikan bahwa Siu Ban Ci adalah anak dari Syekh Bentong yang juga cucu dari Syekh Quro. Keduanya, merupakan ulama yang punya peran penting dalam merintis Islamisasi Jawa.

Sosok Siu Ban Ci merupakan muslimah asal China yang menjadi Selir Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit dan memiliki putra yang kelak dikemudian hari menjadi Pendiri Kesultanan Demak.

Baca Juga: 388 Siswa Ikuti Vaksinasi Merdeka Usia 6-11 Tahun di Tegal Barat Kota Tegal

Siu Ban Ci atau Sie Ban Ci adalah putri pasangan Syekh Bentong atau Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong alias Kyai Batong.

Di Kabupaten Karawang pada tahun 1338 Saka (1416 M) mendirikan pesantren Pura Dalem Pura Karawang dan diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran.

Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama anaknya. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari dan lahir Syech Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang.

Baca Juga: Kapolres Tegal Kota Beri Penghargaan Anggota Berprestasi

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya V raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tiongkok. Menurut Purwaka Caruban Nagari, Selir Tiongkok Siu Banci ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat).

Namun karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya (Bhre Kertabhumi) terpaksa memberikan selir Tionghoa tersebut kepada Adipati Palembang, Arya Damar.

Setelah melahirkan Raden Patah (dari Brawijaya V), putri Tiongkok Siu Ban Ci dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong) dan melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).

Baca Juga: Menjadi Sekolah Penggerak di Kota Tegal? Apa Saja Syaratnya?

Raden Patah memiliki banyak nama, diantaranya Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan), yang memiliki nama Tionghoa Jin Bun sehingga disebut juga Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun.

Gelar takhtanya, Senapati Jimbun Ningrat Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama
Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah. (1455–1518).

Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan.

Asal usul pendiri Kerajan Demak ini menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong).

Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.

Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Tionghoa Siu Ban Ci.

Kemudian selir Tionghoa diberikan kepada seorang berdarah setengah Tionghoa bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa) dari seorang selir Tiongkok.

Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen). Kronik Tiongkok ini menceritakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455.

Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478).

Menurut Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya V sebagai ayah Raden Patah sekaligus ayah Arya Damar.

Lebih tepat isi naskah kronik Tiongkok Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar) adalah Yang-wi-si-sa, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Patah) yaitu Kung-ta-bu-mi atau Kertabhumi alias Brawijaya V.

Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur.

Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri.

Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?).

Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Tiongkok, Gresik, dan Palembang.

Pendirian Demak menurut
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen (Husain). Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.

Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.

Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.

Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya.

Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.

Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah.

Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan Tionghoa untuk Bintoro).

Konflik Demak dan Majapahit pada Masa Raden Fatah dalam versi Perang antara Demak dan Majapahit, disebutkan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.

Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah.

Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.

Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel).

Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat.

Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.

Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana.

Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI.

Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII.

Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi.

Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.

Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit.

Kisah ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.***

Editor: Lazarus Sandya Wella

Tags

Terkini

Terpopuler