Tekan Perkawinan Anak, Jateng Terus Gaungkan 'Jo Kawin Bocah'

- 11 Desember 2020, 17:38 WIB
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah, Retno Sudewi. /Dok: Humas Pemprov Jateng.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah, Retno Sudewi. /Dok: Humas Pemprov Jateng. /

“Pemprov, BKOW, menyusun strategi pencegahan perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga upaya penurunan perkawinan anak bisa terjadi,” katanya.

Mengingat perkawinan anak berkontribusi terhadap kekerasan perempuan. Adanya Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang pedoman mengadili perkara dispensasi kawin, adalah salah satu langkah progresif untuk menekan terjadinya perkawinan anak. Tetapi perlu ada sinergi untuk memperkuat implementasinya.

Baca Juga: Anggota DPRD Jember Cukur Gundul Setelah Petahana Kalah di Pilkada, Ada Apa?

Dalam rangkaian 16 Hari Antikekerasan terhadap Anak, BKOW Jateng bekerja sama dengan DP3AP2KB Provinsi Jateng dan Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) menyelenggarakan webinar ini.

Di antara pembicaranya adalah Ketua BKOW Jateng, Kepala DP3AP2KB Jateng, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama Semarang Domiri, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unissula Dr Mila Karmilah, dan Direktur LRC KJHAM Nur Laila Hafidhoh.

Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Semarang Domiri menyampaikan, latar belakang lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2019 yakni semua tindakan mengenai anak yang dilakukan pengadilan, bertujuan demi kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu, pengadilan dalam keadaan tertentu dapat memberikan dispensasi kawin. Serta, belum ada aturan yang tegas dan terinci dalam progres mengadili permohonan dispensasi nikah anak.

Baca Juga: Inilah Tiga Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021

Nur Laila Hafidhoh dari LRC KJHAM mencatat, banyak kasus kekerasan perempuan terjadi pada mereka yang memiliki latar belakang melakukan perkawinan usia anak.

Laila mencontohkan, M warga Semarang melakukan pernikahan anak dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada juga, IS dari Kendal melakukan perkawinan anak dan mengalami KDRT hingga trafficking.***

Halaman:

Editor: Lazarus Sandya Wella


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah