Akibat Disrupsi Digital, Ketua PWI Minta Pemerintah Terbitkan Relasi Antara Platform dan Pers 

- 12 Februari 2021, 13:58 WIB
ilustrasi platform agregator
ilustrasi platform agregator /Pexels/Luca Sammarco

Namun, hijrahnya sejumlah media cetak ke online juga harus disertai perjuangan baru lagi. Hary Tanoe mengingatkan, kue iklan yang mengalir ke media internet (online) terus meningkat, tapi tak berarti mengucur ke perusahaan media pers sebagai penghasil konten. “Sebagian besar iklan, 70 sampai 80 persen, dikuasai platform asing semacam Google atau Facebook,” kata Hary Tanoe. Ia bahkan yakin, platform akan terus menguat dan mampu menggaet di atas 50 persen iklan dalam 10 tahun ke depan.

Baca Juga: Usung Tema Penanganan dan Pasca Covid-19, Dedy Yon Bersama Apeksi Ikuti Pembukaan Munas di Istana Negara 

Situasi  itulah yang dirasakan kalangan media online di Indonesia, seperti yang  disampaikan Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono. Berbicara setelah Hary Tanoe, dalam Konvensi Nasional Media, dalam rangka menyambut HPN 2021, Anthony berkata, “Di masa pandemi ini, penonton kami meningat sekitar 40 persen, tapi revenue kami turun drastis. Di sinilah, mau tak mau, ada satu hal yang harus kita lakukan bersama-sama terkait disrupsi digital ini.”

Anthony mengatakan, media pers adalah produsen kontennya, tapi distribusinya dikuasai secara keseluruhan atau setidaknya secara mayoritas oleh platform. Walhasil, perusahaan-perusahaan media siber tak mampu bertahan secara bisnis.

“Dari Mei 2020, banyak perusahaan yang melakukan PHK, dan kini sudah lebih 50 persen yang terdampak,”ujar Anthony. Ia mengakui pendapatan perusahaan media siber anjlok  30--40% selama pandemi. Banyak perusahaan anggota AMSI yang melakukan PHK, dan ada  sebagian lainnya sudah menunda-nunda gaji karyawannya.

Baca Juga: Habib Novel Alaydrus Dukung Program PPKM Berbasis Mikro

Dampak yang muncul dari dominasi platform itu, kata Anthony, juga merambat ke soal moral dan etik. Sebagai penguasa distribusi, platform menelan semuanya, tanpa melakukan seleksi atas akuntabilitas, kredibilitas, dan kualitas konten. Karya jurnalistik berhadapan dengan omelan warganet atau konten lain yang dibikin tanpa melewati proses jurnalistik. 

“Konten jurnalistik dan konten abal-abal dianggap sama derajatnya. Sayangnya, harus diakui, masyarakat tak terbiasa membedakan konten yang bermutu dengan konten yang tak ada basisnya,” Anthony menambahkan.

Gayung pun bersambut. Ketidaksetaraan posisi antara platform besar dan pers nasional, seperti yang disampaikan Hary Tanoesoedibjo dan Anthony, juga telah menjadi agenda perjuangan PWI dan kelompok pers lainnya. Di depan Presiden Joko Widodo, dalam acara puncak HPN di Istana Merdeka, Ketua PWI Atal S Depari meminta pemerintah menerbitkan regulasi yang secara transparan bisa menjamin kesetaraan dan keadilan relasi antara platform dan pers nasional.

Baca Juga: Nelayan Kota Tegal Siap Ganti Alat Tangkap Ikan Yang Ramah Lingkungan

Halaman:

Editor: Lazarus Sandya Wella


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah