Selanjutnya pada sesi materi, disampaikan oleh pemateri-pemateri dari kalangan praktisi atau pelaku usaha, akademisi dan santri tani.
Sebagai pemateri pertama, Agus Pujosiswono dari Komunitas atau Kelompok Tani EdamoZ (Edamame Osing) menekankan bahwa keunggulan komparatif yang terdiri dari ciri khas dan kuantitas belum cukup untuk bersaing dengan produk asing.
Baca Juga: Diduga Korsleting Listrik, Pabrik Pembuat Rambut Palsu di Purbalingga Dilahap Si Jago Merah
Ia menekankan sekali bahwa produk tani agropolitan daerah harus memiliki kualitas produk dan inovasi produk. Ia menceritakan bahwa konsep “gandeng renteng”, adalah konsep sederhana dari praktik agropolitan nusantara.
“Kami di lereng Ijen, sudah mempraktikkan konsep gandeng renteng, petani besar mendampingi petani kecil lalu. Tinggal bagaimana dipikirkan, petani itu harus memiliki pendampingan dari konsultan professional, yang mengelola supply chain dan akses permodalan. Kalau perlu, memang dilembagakan oleh daerah sebagai korporasi. Tujuannya, supaya kualitas produknya melimpah dan bagus.” Jawab Agus.
Senada dengan Agus, KH. Ahmad Bahaudin dari Blitar, Jawa Timur bahwa kegiatan ini sangat ditunggu oleh seluruh pelaku tani, khususnya bagaimana menciptakan nilai tambah dalam beraktivitas sebagai tani.
Baca Juga: Wow! Pemerintah Siapkan Rp500 Miliar Untuk Subsidi Ongkir Belanja Lebaran
“Kami di Blitar, produk unggulan kami Ikan Koi. Beberapa warga secara individu dan sedikit yang berkelompok, melakukan usaha ekspor ikan Koi, dengan harga kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 1 Juta rupiah.”
Ia juga memberikan masukan bahwa seharusnya tugas pemerintah lebih pro aktif memfasilitasi kegiatan penguatan kapasitas SDM pelaku dan menciptakan iklim yang sehat seperti Jepang, sehingga tercipta para pelaku professional sektor pertanian.
Selanjutnya, dari pemateri ketiga, Gus Warih lebih merangkum kedua materi sebelumnya. Ia meyakini, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dari agropolitan nusantara, yakni aspek infrastruktur, SDM dan pengembangan produk turunan.