Simak Penjelasan Pandemic Fatigue, Untuk Menghindari  Demotivasi Prokes

- 22 Maret 2021, 21:35 WIB
Bahaya Pandemic Fatigue, Rasa Jenuh Terhadap Pandemi  yang Bikin Kita Cuek dengan Petaka Covid-19.
Bahaya Pandemic Fatigue, Rasa Jenuh Terhadap Pandemi yang Bikin Kita Cuek dengan Petaka Covid-19. /Pexels/

KABAR TEGAL - Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, S.Sos., M.Soc.Sci. mengatakan masyarakat rentan mengalami pandemic fatigue akibat rasa jenuh yang tinggi terhadap situasi yang tidak menentu.

Pandemic fatigue atau demotivasi untuk mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan karena rasa jenuh terhadap pandemi COVID-19 harus segera diatasi dan hal ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.

"Semua kebijakan berbasis data/riset, tidak bisa pukul rata harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Baca Juga: Unggah Hasil Laboratorium, Rey Mbayang dan Dinda Hauw Positif Covid-19

Masyarakat yang awalnya patuh dan waswas tertular virus corona secara bertahap mulai santai dan cuek terhadap protokol kesehatan.

Hal ini tentunya akan berakibat pada naiknya angka kasus COVID-19 yang kini mulai menurun.

Misalnya untuk lansia bagaimana, untuk kaum muda bagaimana media komunikasi yang tepat," ujar Daisy dalam acara virtual "Refleksi Setahun Pandemi: Masyarakat Semakin Abai atau Peduli", Senin 22 Maret 2021.

Baca Juga: Ratusan Siswa SMK di Sragen Nunggak Bayar Sekolah, Ganjar Pastikan Ijazah Sudah Diserahkan

 

Untuk menghadapinya, diperlukan regulasi yang berfokus pada manusia atau masyarakat, melakukan penelitian dan pengumpulan data untuk membuat kebijakan sesuai dengan kelompok sasaran, jadi tidak dipukul rata.

Untuk menghindari pandemic fatigue, anggota masyarakat juga harus dilibatkan dalam mencari solusi atau merancang kebijakan, bukan hanya sekadar sebagai obyek yang harus patuh.

Selain itu, menurut Daisy harus ada perubahan gaya hidup, perubahan perilaku serta sistem nilai baru yang disesuaikan dengan pandemi.

Baca Juga: Aksara Jawa akan Terintegrasi ke Dalam Platform Digital

"Kita harus open untuk berubah, yang penting juga adalah bagaimana manusia tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari tapi mengurangi risiko tertular dan kebijakan tidak bisa ekstrem, memahami kesulitan hidup yang dihadapi anggota masyarakat," Katanya

Pandemi COVID-19 sangat mempengaruhi ketahanan sebuah keluarga, hal ini terkait dengan masalah ekonomi, sosial, masalah relasi antar anggota keluarga, perubahan peran, tumbuh kembang anak serta masalah fisik dan mental.

"Kurangi sumber beban yang negatif atau stressful, memikirkan aktivitas anak, memberi jeda agar tidak hanya belajar, tambah hal-hal yang positif, bangun relasi yang suportif. Tetap berinteraksi online juga mengurangi pandemic fatique," ujar Daisy.

Baca Juga: Melalui LOAKK, Masyarakat Kabupaten Tegal Lebih Mudah Urus Akta Kelahiran

Untuk membangun ketahanan keluarga, fokus tidak hanya sekadar beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, tapi juga untuk tumbuh menjadi keluarga yang kuat.

Selain itu, sebisa mungkin untuk memberikan ruang pada kemampuan masing-masing individu, khususnya dalam hal skill managing daily life. Tujuannya agar keluarga semakin kuat dan berdaya di masa pandemi.***

Editor: Dwi Prasetyo Asriyanto

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah