Perang Baliho Elite Parpol, Pengamat: Bukan Dapat Simpati Malah Cibiran dan Makian

10 Agustus 2021, 20:38 WIB
Perang Baliho Elite partai politik. /dok/pikiran rakyat depok/

KABAR TEGAL- Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh, kendati demikian para bakal kandidat sudah memasang start dari sekarang.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pemasangan baliho berukuran besar di pinggiran jalan.

Terlihat beberapa gambar Ketua PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR Puan Maharani, baliho Ketua Umum Golkar yang juga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Baca Juga: Minta Vonis Bebas Atas Kasus Korupsi Bansos, Juliari Batubara: Tolong Akhiri Penderitaan Kami

Meski tidak sebanyak tiga nama tadi, ada juga baliho yang menampilkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno justru meragukan strategi pengenalan diri lewat baliho yang dilakukan sejumlah elite partai politik itu akan membuahkan hasil baik.

Adi menyebut, baliho hanya benda mati dan tidak membuahkan apa-apa tanpa diiringi kerja nyata, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Alih-alih diapresiasi, baliho itu justru jadi bulan-bulanan di media sosial.

”Bukan dapat simpati, malah cibiran dan makian. Jadi baliho tidak ada artinya,” kata Adi, Minggu 8 Agustus 2021.

Baca Juga: Sidang Penempatan Jabatan Perwira Dilaksanakan Harus Sesuai Mekanisme dan Kebutuhan Organisasi Satuan

Ia menilai wajar protes publik atas baliho itu. Soalnya, baliho tersebut dinilai tak punya empati dan tak membantu apa pun masalah saat ini.

Apalagi di tengah dampak pandemi Covid-19 yang membuat banyak orang butuh sembako.

”Eh, elite di baliho itu malah butuh perhatian rakyat,” kata dia.

Adi menyebut, sebetulnya elite politik pasang baliho adalah perkara biasa, etis, dan mesti dilakukan untuk publikasi dan sosialisasi diri.

Namun, menjadi paradoks karena baliho yang tersaji sekarang lebih mirip ‘benda mati’ yang tak memahami kondisi rakyat di tengah pandemi Covid-19.

Beda ceritanya kalau selain pasang baliho, para elite melakukan langkah nyata. Contohnya, para elite politik menginstruksikan semua kader partainya untuk membuka kantor partai, dari pusat hingga daerah, untuk membantu rakyat terdampak pandemi Covid-19.

”Meski tak bisa membantu langsung, setidaknya pengurus partai bisa membantu memudahkan akses terhadap kesehatan dan bansos. Elite yang pasang baliho dipastikan makin dapat simpati karena dianggap dewa penolong, bukan lagi cemoohan,” ucapnya. Sebagaimana dikutip KabarTegal.Pikiran-Rakyat.com dari Pikiran-Rakyat.com.

Baca Juga: Cara Download Serifikat Vaksinasi Covid-19 Melalui Pedulilindungi.id

Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan juga menilai sama.

Nama-nama yang sekarang mampir di hadapan publik lewat bentuk baliho di tiap sudut jalan itu sedang berusaha memperkenalkan diri.

Akan tetapi, jika itu ditujukan untuk mendongkrak popularitas di Pilpres 2024, tentu perjalanannya masih sangat jauh.

Apalagi kalau hendak bersaing dengan tiga nama besar yang selama ini menyesaki hasil survei seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil.

”Masih banyak pekerjaan rumah, seperti pembentukan emosional suka, benci, dan dampak psikomotorik atau perilaku nyata.

Jadi, perjalanan masih sangat jauh untuk sampai dipilih masyarakat. Ini melelahkan bagi pelaku komunikasi, maupun khalayak jika pesan-pesan yang mereka kembangkan, tak relevan dengan kebutuhan masyarakat,” kata Firman.

Strategi pesan

Setidaknya ada dua strategi yang hendak digunakan para elite parpol lewat perang baliho.

Pertama, tampil dalam ukuran besar yang memuat wajah mereka.

Baca Juga: Usai Beraksi, Empat Perampok Pabrik Garmen di Kedungkelor Langsung Dibekuk Satreskrim Polres Tegal

Kedua, intesitas yang tinggi lewat pemasangan baliho.

Kedua strategi itu dalam tinjauan ilmu komunikasi memang mampu membentuk ingatan khalayak.

”Teori ingatan menyatakan, memori khalayak dapat dibentuk oleh sesuatu yang tidak biasa. Ada ukuran ekstra besar pada baliho, pesan unik, warna mencolok, dan pengulangan yang intensif seperti tampil di mana-mana dengan pesan yang konsisten,” ucapnya.

Meski isi pesannya buruk, kata Firman, dua formula itu mampu membangun memori khalayak. Perkara akan populer atau sebaliknya, tentu strategi pemasangan baliho hari ini bukanlah menjadi strategi tunggal.

”Ketika yang diingat publik adalah persepsi negatifnya, pada kesempatan berikutnya kan bisa diajukan materi komunikasi yang lain. Memori baru publik mudah diperbaharui dengan strategi pesan yang berbeda,” ucap dia.

Beberapa waktu belakangan, beberapa baliho yang menampilkan foto diri para elite parpol dipasang cukup rapat antara satu dengan yang lain di sejumlah daerah.

Dalam pemberitaan sejumlah media, para partai yang elitenya dipajang di jalan ini menampik dugaan publik bahwa pemasangan baliho ditujukan untuk menggenjot popularitas ketuanya pada ajang Pilpres 2024.

Politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan menyebut baliho Puan lebih bersifat internal dan terkait kepemimpinannya sebagai Ketua DPR.

Sementara baliho Muhaimin, meski beberapa eksplisit membubuhkan slogan ”Gus AMI 2024” disanggah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid sebagai instruksi dari partainya. Bahkan, ia mengaku tak tahu-menahu inisiator dan tujuannya.

Demokrat berdalih, baliho bergambar AHY untuk mewaspadai gerakan Moeldoko yang hendak mengambil alih partai.

Hanya Golkar, melalui Ketua DPP-nya Ace Hasan Syadzily, yang mengaku pemasangan baliho Airlangga merupakan strategi sosialisasi yang sudah disepakati dalam rapat pimpinan nasional dan rapat kerja nasional, Maret 2021.***

 

Editor: Lazarus Sandya Wella

Tags

Terkini

Terpopuler