Meraih Pahala Besar Dalam Keringanan Ibadah (Rukhsah)

- 9 Desember 2020, 06:19 WIB
/

  Oleh : Ahmad Afandi, MPd.I *) 

Islam mengarahkan pemeluknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, berbagai tata cara ibadah telah Allah tetapkan guna menjadi sarana mendekatkan diri. Mulai dari yang paling ringan, standar sampai paling berat. Orang yang terbiasa dengan ibadah yang standar dan cenderung berat, biasanya merasa tidak puas dengan ibadah-ibadah ringan, pun tak jarang kita temukan, orang yang terasa berat mengerjakan ibadah standar oleh karena berbagai sebab.

Salah satu contoh adalah ibadah selama masa pandemic covid19. Saat Indonesia belum “bersahabat dengan covid19”, pemerintah melakukan pembatasan beribadah di tempat umum yang berdampak pada perubahan tata cara maupun pola ibadah harian seperti sholat, yang biasa jamaah di masjid, menjadi dilarang sholat berjamaah di masjid.

Selama masa pandemi covid19, masih banyak orang yang memaksakan diri tidak mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak beribadah berjamaah di masjid. Dampaknya, pengabaian anjuran beribadah di rumah, berkontribusi pada pertambahan pasien covid19 baik reaktif maupun positif setelah dilakukan rapid test maupun PCR.

Anjuran yang sudah didukung fatwa para ulama’ ini dirasakan sebagai upaya menjauhkan umat dari Allah SWT, sehingga sebagian orang menganggap rukhsah yang telah dirumuskan adalah langkah menentang hukum Allah.

Sejatinya, rukhshah adalah bagian rahmat Allah sebagai upaya memelihara kemaslahatan kualitas ibadah seorang hamba. Dalam khazanah fiqhi, kita biasa menemukan hukum – hukum rukhshah (ringan) mengiringi hukum-hukum azimah (keras). Istilah rukhshah yang dimaksud adalah perubahan hukum dari sulit menjadi mudah, dari berat menjadi ringan disebabkan adanya udzur tanpa merubah status hukum asal yang berat.

Dua sisi hukum ini, merupakan fasilitas syari’ah supaya manusia tetap bisa berhubungan dengan Allah dalam setiap keadaan. Syari’ah islam yang suci, datang membawa ajaran yang dilengkapi perintah dan larangan dalam setiap persoalan, dimana ajaran tersebut seringkali menjadi ruang perselisihan yang menggelayut pada dua sisi timbangan ; berat dan ringan.

Sebagaimana penjelasan elaboratif Imam As-Sya’raniy, hukum berat dan ringan dalam penerepannya disesuaikan dengan keadaan seseorang yang menjadi sasaran hukum, jika ia memiliki kadar keimanan dan jasmani yang kuat, ia dianjurkan beragama dengan hukum yang berat, begitu sebaliknya, ketika ia berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalankan agama dengan hukum yang berat, dipersilahkan ia menempuh jalur kemudahan dengan mengikuti fatwa hukum yang ringan.

Selain aspek keimanan dan kekuatan jasmani, situasi tempat dan waktu juga berkontribusi pada penentuan justifikasi syari’ah, apakah seseorang akan memilih hukum yang berat atau ringan, tentunya pemilihan hukum berat dan ringan itu tetap dilakukan dalam bingkai ikhtiar taat kepada Allah SWt, bukan karena bermalas-malas yang berdampak pada menjauhnya kedudukan sesorang dari medan taqwa. Sehingga, pilihan hukum yang kita tempuh tetap berada dalam koridor firman Allah : “bertakwalah engakau sesuai kemampuanmu”.

Roslulullah memperkuat firman Allah ini dengan sabdanya :” jika aku perintahkan engkau dengan suatu urusan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kamu”.

Halaman:

Editor: Dasuki Raswadi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x