“Tidak bisa langsung mengatakan kullu bid’atin dholalah, itu bisa menimbulkan ambhyar sebelum didakwahi. Karena berdakwah itu bukan menghakimi, apalagi men’dengkul’, tapi dakwah dilaksanakan untuk merangkul.” katanya
Dari tinjauan antropologis, ihwal petani melakukan ‘Slametan’ adalah ungkapan syukur dan wasilah untuk minta tolong kepada yang prima causa atas penyakit kepada tanaman mereka. Terlebih bagi masyarakat jawa yang tidak bisa dilepaskan dari konsepsi dan simbol, maka ungkapan syukur dan berdoa seiring diekspresikan dalam bentuk-bentuk ritual dan jenis-jenis makanan.
Karena realitas yang dihadapi begitu kompleks, Tafsir berpesan kepada da’I atau mubaligh Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas dakwah tidak dengan mudah melakukan penghakiman. Dakwah harus ditempuh dengan jalan-jalan damai, hangat, menggembirakan, dan memajukan sehingga perlu menemukan metode dakwah yang pas.
Konsepsi simbol yang diekspresikan dalam bentuk budaya dan sudah tertanam di bawah alam sadar pada suatu masayrakat atau bangsa membutuhkan waktu untuk yang panjang untuk memperbaikinya. Karena habitus masyarakat akan erat kaitannnya dengan lokalitas yang ditempati. Maka metode dakwah harus unik, dan tidak bisa bersifat tunggal.
“Di masyarakat jawa, kalau mengumpulkan orang tidak bisa dijauhkan dari dua hal, yakni musik dan makan. Materi dakwah tidak bisa diserap oleh masyarakat kalau mereka dalam keadaan lapar, dan dalam keadaan sedih. Maka berdakwah harus mengembirakan.” tambahnya.***