Sejarah Desa Depok, Penusupan, Pener dan Dermasuci

15 Desember 2020, 11:41 WIB
RUBRIK KHAZANAH /

Oleh : KRT Rosa Mulya Aji, ST *)

Kisah Perjalanan Pejabat Tinggi Kerajaan Majapahit Kanjeng Raden Tumenggung Wiragati yang selamat dari Perang Demak melawan Majapahit tahun 1478.

Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak. Salah satu petinggi Majapahit, yang juga merupakan seorang pemimpin spiritual kerajaan bernama Kanjeng Raden Tumenggung Wiragati atau disingkat KRT Wiragati berhasil selamat dari serangan pasukan Demak ke Istana Majapahit pada 1478. Ia adalah satu dari 9 pemimpin spiritual di Kerajaan Majapahit yang pada saat itu diperintah oleh Singawikramawardhana Dyah Suraprabawa atau Kertabumi atau Prabu Brawijaya V. Dalam struktur pejabat keagaamaan masa Kerajaan Majapahit terdapat dua pejabat utama dibantu tujuh pejabat lainnya. Dua Pejabat itu adalah Dharmadyaksa Ring Kasaiwan atau pemimpin tertinggi Siwa dan Dharmadyaksa Ring Kasogatan atau pemimpin tertinggi Buddha. Siwa dan Buddha pada masa Kerajaan Majapahit adalah agama yang bersinkretik dengan agama Jawa.

KRT Wiragati menduduki pemimpin tertinggi Siwa atau Dharmadyaksa Ring Kasaiwan. Ia adalah adalah palon diantara 9 palon yang lain yang menjadi penasehat Raja Majapahit. Wiragati berasal dari dua kata yakni Perwira yang artinya pejabat tinggi dan Wigati yang artinya rahasia. Selain sebagai Dharmadyaksa Ring Kasaiwan, KRT Wiragati juga menjadi kepala Telik Sandi Kerajaan Majapahit. Ia bertanggung jawab pada Raja secara langsung dengan melaporkan berbagai macam informasi rahasia yang dikumpulkan oleh anak buahnya terkait keamanan kerajaan dan hal-hal lain yang sifatnya strategis. Jabatan Kepala Telik Sandi sejajar dengan posisi Kepala Badan Intelejen Negara di zaman sekarang.

KRT Wiragati juga memiliki keahlian di bidang pertanian. Karena kemampuannya yang linuwih di berbagai bidang inilah menjadikan posisi KRT Wiragati sangat berpengaruh di Istana Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1478 Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Raden Patah bersama Walisongo melakukan penyerangan secara mendadak ke Istana Kerajaan Majapahit di Trowulan. Benteng Kerajaan Majapahit berhasil dijebol dan Istana Majapahit diduduki oleh musuh.

Raja Majapahit Singawikramawardhana Dyah Suraprabawa atau Kertabumi berhasil menyelamatkan diri bersama orang-orang kepercayaannya, termasuk KRT Wiragati. KRT Wiragati mengawal Singawikramawardhana hingga ke Gunung Lawu. Di kaki Gunung Lawu, Singawikramawardhana Dyah Suraprabawa atau Prabu Brawijaya V memutuskan rombongan harus berpencar dalam rangka menyelamatkan diri dari kejaran pasukan musuh.

KRT Wiragati bersama beberapa orang kepercayaannya kemudian melakukan perjalanan panjang ke arah barat dengan menaiki berkuda dan berjalan kaki. Wiragati dalam perjalanan pelarian tersebut berhenti di Watu Ireng, Desa Lambur, Kecamatan Kandangserang, Kabupaten Pekalongan, namun Wiragati dan orang-orang kepercayaanya hanya tinggal selama 1 bulan. Watu ireng merupakan daerah perbukitan di lereng Rogojembangan.

Selanjutnya rombongan Wiragati, kembali melanjutkan perjalanan terus ke arah barat sampai ke daerah pinggir bantaran sungai besar yang kelak diberikan nama oleh Wiragati dengan nama Sungai Gung atau Kali Gung. Kali Gung merupakan sebuah sungai yang mengalir di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Di tempat itu Wiragati bersama orang-orang kepercayaannya menetap dan mengajarkan 8 ajaran Jawa Dipa dan Budi pekerti sebagai olah rasa dan raga, lambat laun tempat tersebut disebut Padepokan. Lokasi tersebut sekarang dikenal dengan nama Candi Sigerit karena ada pohon jambu tua yang batangnya bersinggungan dengan batang pohon randu. Sampai sekarang di bawah pohon tersebut terdapat mata air yang ada bulus atau kura-kura yang sangat tua. Tepatnya berada di Balai Desa Depok ke Utara, itulah asal muasal Depok yang merupakan desa tertua diantara 4 desa lainnya di pinggir bantaran Kaligung.

Wiragati mempunyai pangikut setia 2 orang, yang berambut gondrong dijuluki si Gombak dan yang berambut gundul tapi bagian depan masih ada sisa rambutnya sedikit dijuluki si Kuncung. Sampai sekarang penduduk di 4 desa itu mempunyai mitos bila anaknya sakit sakitan waktu kecil maka rambutnya akan dicukur kuncung supaya bisa selamat sampai dewasa.

Di sisi lain ada juga anak kecil yang sampai besar tidak dicukur dan tetap berambut panjang karena percaya pada mitos yang sama.

Wiragati mempunyai empat anak, yang tertua perempuan diberikan sebidang tanah sebagai simbol bahwa awal hati dan pikiran dalam melangkah harus benar dan lurus. Maka tanah pemberian itu disebut Pener yang artinya benar dan lurus. Dengan demikian keturunan Wiragati di Desa Pener adalah anak yang paling tua.

Anak kedua laki laki kemudian diberikan tanah sebagai simbol bahwa setelah manusia berperilaku benar dan lurus maka manusia harus punya sanubari, perasaan dan empati. Dalam bahasa Jawa kuno disebut Nusup. Maka seiring perjalanan waktu, tanah tersebut dinamakan Penusupan dengan maksud keturunan Wiragati selalu menggunakan sanubari dan perasaan dalam melangkah. Karena anak kedua adalah anak laki laki maka diberikan tanah paling luas dibanding saudara yang lain, sehingga Desa Penusupan wilayahnya lebih luas dibandingkan Desa Pener dan Depok.

Setelah Wiragati mangkat, kemudian anak laki laki wiragati melanjutkan ajaran Budi pekerti yang diajarkan ayahandanya. Wiragati memberi pesan kepada putranya saat memberikan tanah, yang merupakan simbol bagi anak keturunannya. setelah hidup benar dan lurus serta welas asih maka jalan selanjutnya harus berdarma, yakni selalu memberikan tenaga, pikiran atau harta supaya batin menjadi suci. Selanjutnya tanah itu disebut Darma Suci. Dalam perjalanan waktu menjadi dermasuci

Sedangkan tanah Depok diberikan kepada anak terakhir Wiragati. Anak terakhir Wiragati ini seorang perempuan.

Jadi walaupun Depok adalah Desa tertua namun keturunan Depok adalah yang paling muda dibandingkan tiga desa lainnya.

Sementara Anak ketiga bernama Roro Wulan diambil menjadi selir Pati Unus yang merupakan Raja kedua Kerajaan Demak.
Pada akhirnya sampai sekarang nama nama pedukuhan di 4 desa tersebut diberikan nama oleh sesepuh keturunan Wiragati setiap hendak memberikan tanah kepada anak-anaknya, seperti sigarung, keplik, nalaba, jerotengah, pangkalan, keleben, dukuh, sibelo, serog, jenggul, mingkrik, Guyangan dan lain lain berdasar peristiwa atau tanda lainya.

Wiragati dimakamkan di Sigarung Pener, selatan arah jalan ke Dermasuci, karena di akhir hayatnya ia didampingi anak perempuan tertuanya yang mendapatkan tanah Pener.

Nama Wiragati muncul dalam berita Kronik Sam Poo Kong Semarang. Keberadaan makam Wiragati di Sigarung Pener juga tertulis di buku Tegal sepanjang masa. Di samping itu keturunan Wiragati memiliki ciri khas berupa logat dan dialek khusus saat berbicara. Logat dan dialek bicara penduduk 4 desa keturunan Wiragati berbeda dengan logat Tegal lainya. Logat penduduk 4 desa keturunan Wiragati kadang ditertawakan oleh orang Tegal lainnya karena logat berbicara mereka terdengar berbeda dibandingkan orang Tegal lainnya sehingga tampak lucu. Pada saat anak-anak keempat desa keturunan Wiragati tersebut bersekolah di Slawi, mereka sering diejek atau di-bully di kelas oleh teman-temanya. Bahasa Jawa logat Tegal yang mereka gunakan baik intonasi maupun aksennya berbeda dengan orang Tegal lainnya. Logat dan dialek yang digunakan keturunan Wiragati mengadaptasi dari logat atau dialek Jawa Timuran, karena Wiragati dan orang-orang kepercayaannya berasal dari Trowulan Majapahit. Sebagai contoh kosakata bleketepe terdapat dalam dialek Jawa Timuran, hanya ditemukan dan dipergunakan dalam kosakata penduduk di 4 desa tersebut.

Pengeran Diponegoro ke Penusupan
Pada zaman kolonial yakni abad ke-19 pasukan pangeran Diponegoro memang pernah singgah di Penusupan. Namun Penusupan dan Pener sudah ada jauh sebelum Diponegoro singgah di tempat itu. Pada zaman Kolonial Belanda secara adminsitratif memang hanya ada dua desa yakni Penusupan dan Pener. Blok tanah Dermasuci masuk ke Desa Pener sedangkan blok tanah Depok masuk ke Desa Penusupan. Namun nama tanah Depok dan tanah Dermasuci sudah ada sejak abad ke-15 yang ditetapkan oleh KRT Wiragati sebagai leluhur empat desa ini.

Cara mendeteksi apakah penduduk ke empat desa tersebut benar-benar merupakan keturunan Wiragati atau bukan adalah dengan melihat siapa kakek, nenek atau Embah dari orang yang bersangkutan. Jika orang itu mempunyai embah, kakek, nenek, yang lahir sebelum tahun 1960 dan dilahirkan sebagai penduduk asli di keempat desa tersebut, maka hampir pasti mereka adalah Keturunan KRT Wiragati. Alasannya adalah sebelum tahun 1960 migrasi atau perpindahan penduduk di empat desa itu sangat kecil kemungkinannya. Hampir semua penduduk Desa Pener, Penusupan, Dermasuci dan Depok merupakan keturunan Wiragati.

Anak keturunan KRT Wiragati yang tetap mempertahankan ajaran Wiragati disebut kejawen. Dan empat keturunan langsung KRT Wiragati yang dalam masa periodesasi 2020 - 2026 menduduki posisi sebagai kepala  desa yakni: Suripto, Mulyanto. Guntur Zagiat Yudhiansyah dan Purwanto

Sumber Sejarah ini adalah cerita dari leluhur atau pinisepuh kepada anak anaknya, yang berasal dari versi keluarga besar KRT Wiragati pemegang pusaka dan serat kekancinganya. Sejarah ini juga diperkuat oleh keterangan dalam Buku Keruntuhan Majapahit Hingga Pengislaman Nusantara yang diterbitkan oleh Yayasan Jawa Kanung.

Demikian Sejarah asal muasal penduduk empat Desa yakni Pener, Penusupan, Dermasuci dan Depok di Tegal yang merupakan keturunan Kanjeng Raden Tumenggung Wiragati seorang pejabat tinggi Kerajaan Majapahit pada masa Raja Singawikrama Dyah Suraprabawa atau Prabu Barwijaya V. ***

*)Penulis KRT Rosa Mulya Aji, ST, MT adalah salah satu  dari ribuan keturunan langsung KRT Wiragati . 

Editor: Dasuki Raswadi

Terkini

Terpopuler