Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menanggapi fenomena ini. Ia mengatakan merek tertentu dianggap memamerkan kelas seseorang.
“Di Indonesia, memang ada inferiority complex. Jadi masyarakat merasa apa yang dimiliki itu sudah ada kelas atau nilai lebih di mata masyarakat," katanya.
Namun yang menjadi perhatian adalah sifat jasa SS iPhone sendiri adalah temporer.
"Sebenarnya ini membohongi mereka sendiri dan jaringan di sosial medianya dengan cara membeli layanan yang hanya bersifat temporer,” kata Bhima.
Dalam hal ini kita ketahui bahwa iPhone memiliki nilai prestise, sehingga jasa ss iPhone bisa merujuk ke arah flexing. Yang mana sebenarnya sikap ini berkaitan dengan istilah Fear of Missing out atau FoMo.
FoMo sendiri secara bahasa diartikan sebagai rasa takut akan ketinggalan, merujuk pada ketakutan seseorang akan ketinggalan informasi atau trend yang ada.
Dan yang perlu dipertimbangkan, bahwa sifat flexing maupun FoMo adalah bukan hal yang buruk, tergantung bagaimana cara mengolah dan menyalurkannya.***