Akademisi, Aktivis, Pakar dan Masyarakat Adat Tetap Menolak Omnibus Law

- 19 Oktober 2020, 08:48 WIB
Hadir sebagai pembicara Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi, Guru Besar UGM Prof. Maria Sumardjono, Sekjend KPA Dewi Kartika, Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati, Direktur PB AMAN Arifin Saleh, serta moderator Irfan Fajar Satriyo Nugroho Ketua Bidang Reforma Agraria DPP GMNI.
Hadir sebagai pembicara Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi, Guru Besar UGM Prof. Maria Sumardjono, Sekjend KPA Dewi Kartika, Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati, Direktur PB AMAN Arifin Saleh, serta moderator Irfan Fajar Satriyo Nugroho Ketua Bidang Reforma Agraria DPP GMNI. /

 

KABAR TEGAL - Sejumlah  akademisi, aktivis, pakar dan masyarakat adat tetap menolak Omnibus Law.  Penolakan tersebut disampaikan melalui webinar Sekolah Agraria DPP GMNI dengan tema "Dampak Omnibus Law Pada Regulasi Agraria di Indonesia" pada Minggu 18 Oktober 2020.

Hadir sebagai pembicara Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi, Guru Besar UGM Prof. Maria Sumardjono, Sekjend KPA Dewi Kartika, Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati, Direktur PB AMAN Arifin Saleh, serta moderator Irfan Fajar Satriyo Nugroho Ketua Bidang Reforma Agraria DPP GMNI.

Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi dalam materi pembuka menyampaikan bahwa UU Omnibus Cipta Kerja yang baru disahkan bermasalah dan tak berpihak pada rakyat. Ia juga membeberkan beberapa poin penting yang menjadi polemik di masyarakat terkait UU Cipta Kerja ini, khususnya pada sektor agraria.

“Secara filosofi, prosedur, dan substansi Omnibus Law patut saja ditolak. Pertama bahwa UU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan prosedur pembuatan Undang-Undang di Indonesia yang seharusnya bersifat tematik dan melibatkan publik. Lalu banyak pasal-pasal bermasalah yang dianggap memberi kemudahan izin bagi perusahaan dengan mengesampingkan nilai sosial-budaya dan lingkungan", tegas Imanuel.

Ia menambahkan bahwa UU Cipta Kerja ini tak sesuai dengan semangat Pancasila dan jati diri Bangsa Indonesia.

"Filosofi UU Cipta Kerja ini adalah investasi asing. Tidak lagi kemandirian ekonomi, tidak lagi reforma agraria, tidak lagi masyarakat adat, tidak lagi kelestarian lingkungan. Filosofi UU sebelumnya dirubah semua menjadi satu tajuk, yakni investasi. Kedepan aturan-aturan turunannya juga akan semakin bias dari filosofi awal UU sebelumnya apalagi filosofi Konstitusi dan Pancasila ", tandasnya.

Guru Besar Hukum Agraria UGM Prof. Maria menyampaikan bahwa regulasi yang tercipta selama ini bertentangan secara eksplisit dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3 dan UUPA No.5 Tahun 1960.

"UUPA No.5 Tahun 1960 melalui Land Reform yang seharusnya berbicara soal kedaulatan rakyat, justru melalui Undang Undang dan regulasi turunannya justru sama sekali tidak menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Saya miris melihat ketimpangan yang selama ini terjadi karena pemerintah dalam membuat kebijakan lebih mengedepankan unsur-unsur politik dan investasi ekonomi daripada nilai-nilai filosofis, historis, dan sosiologis dari terciptanya UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960. Sudah banyak masukan yang kita sampaikan, tapi tetap saja tidak didengar", terang Prof. Maria.

Halaman:

Editor: Dasuki Raswadi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x