35 Awak Kapal Perikanan Migran Indonesia Meninggal di Luar Negeri

- 28 Juni 2021, 17:39 WIB
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan /

 

KABAR TEGAL - Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkrit untuk meningkatkan perlindungan kepada awak kapal perikanan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan luar negeri. Keberadaan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum efektif memberikan perlindungan bagi awak kapal perikanan. Pemerintah pusat belum terlalu melibatkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa dalam perlindungan awak kapal migran. Hal ini dapat terlihat dari temuan investigasi yang dilakukan oleh DFW Indonesia yang menemukan fakta bahwa dalam kurun waktu November 2019-Maret 2021 terdapat 35 orang awak kapal perikanan migran meninggal dunia.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa fakta ini memperkuat dugaan bahwa pelaut perikanan sangat rentan resiko dan tereksploitasi. “Dari hasil investigasi kami bahwa dalam periode November 2019-Maret 2021 terdapat 35 orang awak kapal perikanan Indonesia migran yang meninggal di kapal ikan asing” kata Abdi. Mereka meninggal karena berbagai sebab seperti sakit, mengalami tindak kekerasan berupa pemukulan dan penyiksaan, pembunuhan dan karena kondisi kerja, makanan dan minuman yang tidak layak selama melakukan operasi penangkapan ikan.

Abdi mengatakan bahwa dari 35 orang tersebut mayoritas mereka bekerja di kapal ikan Tiongkok. “Dari 35 orang tersebut, 82% bekerja di kapal ikan Tiongkok, 14% kapal ikan Taiwan dan sisanya negara lain seperti Vanuatu” kata Abdi. Abdi menambahkan bahwa para korban meninggal tersebut diberangkatkan oleh 16 perusahaan perekrut dan penempatan. “Ironisnya dari 16 perusahan, hanya 1 perusahaan yang memiliki SIUPPAK yang diterbitkan oleh Menteri Perhubungan” kata Abdi. Artinya mayoritas awak kapal perikanan yang meninggal tersebut berangkat melalui jalur yang tidak resmi atau unprosedural.

Saat ini perusahaan perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan secara resmi harus mengantongi izin SP3MI dari Kementerian Tenaga Kerja, SP2MI dari Badan Perlindungan Perka Migran Indonesia, dan SIUPPAK dari Kementerian Perhubungan. “Walaupun sudah diatur oleh UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan UU No.17/2008 tentang Pelayaran, perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan masih menyisakan celah dengan maraknya pengiriman unprosedural yang sejauh ini sulit diawasi oleh pemerintah Indonesia “ kata Abdi.

Sementara itu, peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan membenahi carut marut sistim perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan dengan segera mengakhiri dualisme aturan yang ada saat ini. “Ada konflik regulasi yang saling tumpang tindih antara UU Pelayaran, UU Perseroan Terbatas dan UU Perlindungan Pekerja Migran yang menyebabkan perekrutan dan pengiriman menjadi multidoors dan kerumitan dalam pengawaan” kata Arif.

Dia mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah turunan UU 18/2017 agar perektrutan dan pengiriman bisa terfokus pada satu pintu. “Mekanisme multi doors yang berlangsung selama in telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan dengan memanfaatkan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap usaha perekrutan dan penempatan pekerja awak kapal migran Indonesia” kata Arif. ***

Editor: Dasuki Raswadi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x