KABAR TEGAL – Mertasuta atau Raden Wirasari merupakan tokoh penting dalam sejarah Mataram Islam. Ia diangkat menjadi Patih dan orang kepercayaan Raja Amangkurat II (Admiral) pada tahun 1680. Namun, jabatannya sebagai Patih hanya berlangsung selama enam tahun.
Saat itu, Kraton Kartasura belum dibangun dan pusat pemerintahan Mataram Islam masih berada di Tegal Wangi atau Pesarean, yang kini menjadi makam Amangkurat I atau Amangkurat Agung.
Mertasuta mundur dari jabatannya setelah menolak kerja sama antara Mataram dengan VOC. Ia bersama menantunya, Wiranegara atau Suropati, secara tegas menolak keberadaan dan pengaruh VOC di tanah Jawa.
Baca Juga: Candi Gunung Wukir: Jejak Sejarah Kerajaan Mataram Kuno di Magelang
Hal ini disampaikan oleh Wiwin Winarno, keturunan ketujuh Mertasuta yang saat ini tinggal di Desa Pendawa, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal.
Menolak VOC, Memilih Mengabdi Kepada Rakyat
Menurut Wiwin atau Ewin, keputusan Mertasuta mundur dari jabatannya sebagai Patih dilatarbelakangi penolakannya terhadap kolonialisme VOC. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan Amangkurat Agung.
“Berdasarkan catatan Islam abad ke-15 hingga ke-17, Mertasuta memiliki nama kecil Raden Wirasari. Beliau mendampingi Amangkurat Agung hingga wafat di sini,” ungkap Ewin, Jumat, 4 Juli 2025.
Ewin menambahkan, Mertasuta merupakan tokoh sejaman dengan Martoloyo dan Kyai Rangga atau Hanggawana yang sama-sama menolak dominasi VOC.
“Beliau adalah keturunan Kajoran, yang juga merupakan keturunan Sultan Pajang, dan sangat menentang kehadiran VOC. Bahkan leluhurnya adalah ulama yang turut mensyiarkan Islam dan menolak penjajahan,” tuturnya.
Setelah mengundurkan diri, Mertasuta memilih mengabdi kepada masyarakat sebagai petani. Bersama Sultan Agung, ia mendirikan lumbung padi di Tegal pada masa sebelum 1645.